Mengapa Penganut Al Qaeda Tidak Surut?

Image and video hosting by TinyPic

KETIKA pria asal Nigeria, Umar Farouk Abdulmutallab, berada di pengadilan distrik Michigan, Amerika Serikat, pekan lalu, ia tampak tenang dan tak menyesali perbuatannya. Bahkan, ia mengungkapkan masih ada 20 kandidat pelaku serangan bunuh diri yang sedang antre untuk melakukan aksinya kapan saja.

Apa yang diungkapkan Abdulmutallab menunjukkan bahwa Al Qaeda tidak hanya masih eksis, tetapi juga semakin berkembang dengan sumber daya manusia yang baru dan metode penyerangan yang baru pula.

Masa depan Al Qaeda pun tampaknya tidak tergantung pada figur satu atau dua tokoh. Telah banyak tokoh-tokoh Al Qaeda papan atas yang tewas, seperti pendiri Al Qaeda, Sheikh Abdullah Azzam (tewas misterius di Peshawar tahun 1989); Ali Rasyidi Al Panshiri (tewas di Danau Victoria, Afrika, 1996); dan Abu Musab As Zarqawi (tewas di Irak tahun 2006).

Dan ada pula tokoh Al Qaeda papan atas yang ditahan AS, seperti Abu Musab As Suri. Meski demikian, hal itu gagal mengikis benih kekerasan dan radikalisme yang menghinggapi alam pikiran banyak pemuda Arab dan Muslim.

Tidak ada jaminan pula jika Osama bin Laden atau Ayman Thawahiri tewas, maka jaringan Al Qaeda akan berakhir.

Mengapa ideologi Al Qaeda bertahan?

Proyek Jihadi

Ada dua hal yang harus menjadi catatan. Pertama, ideologi Al Qaeda adalah sebuah proyek Jihadi. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, proyek Jihadi cukup berkembang. Hal itu menunjukkan proyek tersebut bukan bersifat temporal dan juga kemunculannya bukan karena sekadar aksi balas dendam. Proyek itu sudah ibarat putaran yang setiap saat mengisi kekosongan eksistensi atau identitas siapa pun akibat disia-siakan oleh rezim kekuasaan tempat mereka hidup, atau punya perasaan inferior, atau merasa terzalimi oleh masyarakat atau keluarganya.

Kedua, salah satu tujuan strategis Al Qaeda adalah terus berlanjutnya konflik antara Barat dan dunia Islam sehingga mereka bisa memiliki payung legitimasi etika dan politik dalam aktivitas terorisnya. Dalam hal ini, Al Qaeda berhasil dengan terlibatnya AS dan Barat dalam perang di Afganistan, Irak, dan Pakistan.

Kemudian sebaiknya mengevaluasi kembali wacana variabel yang selama ini dipercaya sebagai faktor-faktor bagi bersemainya radikalisme. Evaluasi itu sebagai keniscayaan agar perang melawan jaringan Al Qaeda tidak berlanjut satu dekade lagi dengan hasil tidak ada pihak yang memenangi pertarungan secara mutlak seperti yang terjadi saat ini.

Variabel pertama adalah bersemainya radikalisme sering dikaitkan dengan kemiskinan dan kebodohan. Wacana ini sangat dipercaya di dunia Barat dalam memandang fenomena kekerasan dan radikalisme selama ini.

Akan tetapi, realita di lapangan, mereka yang tertarik bergabung dengan jaringan Al Qaeda sebagian besar justru berasal dari keluarga berada, kelas atas atau menengah, dan mengenyam pendidikan modern.

Contohnya adalah pria asal Nigeria, Umar Farouk Abdulmutallab, yang berupaya meledakkan pesawat Northwest Airlines yang gagal saat mendarat di Detroit dari Amsterdam pada 25 Desember 2009. Abdulmutallab adalah putra seorang bankir kaya di Nigeria. Ia juga dikenal cerdas, mengenyam pendidikan di London sebelum belajar bahasa Arab di Yaman.

Agen ganda Al Qaeda asal Jordania, Humam Khalil Abu-Mulal al-Balawi, berprofesi sebagai dokter dan terkenal pintar sehingga mendapat beasiswa dari Pemerintah Jordania saat belajar kedokteran di Turki.

Al Balawi melakukan aksi serangan bom bunuh diri yang menewaskan tujuh agen CIA di pangkalan AS di Provinsi Khost, Afganistan Timur, 30 Desember 2009.

Bukan soal miskin

Secara strata sosial ekonomi, Abdulmutallab dan Al Balawi sama seperti pendahulunya, Muhammad Atta dan Ziad al Jarrah (pelaku serangan teroris 11 September 2001 di AS) dan juga sebelumnya, pucuk pimpinan Osama bin Laden dan Ayman Thawahiri. Bahkan, pendiri Tanzim Al Qaeda, Sheikh Abdullah Azzam, yang berasal dari Palestina adalah seorang profesor universitas Islam internasional di Islamabad, Pakistan.

Karena itu, masalah utama bukan karena soal kaya dan miskin atau pintar dan bodoh, melainkan lebih pada doktrin dari mentor atau keyakinan sehingga mereka rela melakukan serangan bunuh diri,

Variabel kedua, teks-teks ajaran agama dan kurikulum sekolah agama di dunia Islam kerap dituduh sebagai faktor pendorong perilaku radikalisme.

Wacana ini dipercaya cukup kuat di dunia Barat dan bahkan juga di dunia Islam. Karena itu, para ulama terkemuka Islam sering turun tangan dengan memberi penafsiran yang moderat atas teks-teks ajaran agama agar dapat mengeringkan sumber kekerasan dan radikalisme.

Namun yang mengejutkan, sebagian besar loyalis Al Qaeda papan atas berlatar belakang pendidikan sipil modern, bukan salaf (agama). Mereka tidak belajar di lembaga pendidikan Al Azhar di Mesir atau sekolah agama di Arab Saudi dan Pakistan, tetapi di lembaga pendidikan Barat seperti Abdulmutallab, Al Balawi, dan Muhammad Atta.

Karena itu, persoalan bukan pada teks ajaran agama atau kurikulum sekolah agama, melainkan kondisi sosial politik yang buntu di sebagian besar dunia Arab dan Islam.

Kebuntuan kondisi sosial politik itu membuka peluang lahirnya penafsiran radikal terhadap teks-teks ajaran agama dalam upaya mencari legitimasi untuk mengubah keadaan. Hal itu bisa dilihat pada karya-karya Sayyid Qutub di Mesir dan Abul Alaa Maududi di Pakistan. Karya-karya Sayyid Qutub khususnya sering dijadikan referensi kelompok-kelompok radikal.

Tolak kehidupan modern

Variabel ketiga sering dikatakan bersemainya perilaku radikalisme bagi para pemuda Arab dan Muslim lantaran mereka menolak atau tidak mampu berintegrasi dengan kehidupan modern yang didominasi peradaban Barat.

Namun, kasus Abdulmutallab, Al Balawi, dan Muhammad Atta adalah mereka produk pendidikan modern dan beberapa waktu hidup di negara Barat atau di lingkungan yang berorientasi keBarat, seperti Al Balawi yang beberapa tahun hidup di Turki.

Persoalannya bukan hubungan Islam dan modernitas, tetapi lebih pada perasaan inferior, krisis identitas, dan rasa kesia-siaan sehingga mereka bergabung dengan Al Qaeda.

Variabel keempat adalah masalah kerancuan semantik. Pejabat dan media Barat sering mengidentikkan Tanzim Al Qaeda dengan paham konservatif atau salaf. Padahal, tidak semua penganut paham salaf dengan sendirinya anggota Al Qaeda.

Jika AS dan Barat memvonissemua penganut paham salaf adalah Tanzim Al Qaeda, maka mereka tidak akan memenangi peperangan karena harus berhadapan dengan jutaan manusia di Afganistan, Pakistan, Yaman, Somalia, dan negara lain.

Padahal, anggota jaringan Al Qaeda jumlahnya ratusan di setiap negara. Jika ada penganut salaf klasik bergabung dengan jaringan Al Qaeda, maka ia bisa disebut Salafi Jihadi dan sudah meninggalkan paham salaf klasiknya.

Karena itu, AS dan Barat harus membedakan antara pengikut jaringan Al Qaeda dan lainnya sehingga dalam memburu mereka tidak salah sasaran, agar tidak menambah musuh dan semakin menuai kebencian terhadap AS.

Analis Timur Tengah asal Inggris, Patrick Seale, mengatakan, AS dan Barat hendaknya tidak hanya menggunakan pendekatan militer atau menggelontorkan bantuan ke negara tertentu atau membuka latihan antiteroris di Pakistan dan Yaman dalam menghadapi jaringan Al Qaeda, tetapi juga memberi prioritas pada pendekatanpolitik dan ekonomi.

Menurut Seale, tingginya angka pengangguran di dunia Arab dan Islam, adanya rezim korup dan diktator, serta tiadanya keadilan mengantarkan banyak pemuda Arab dan Islam mengangkat senjata melawan AS dan sekutunya.

Di Yaman misalnya, problema tidak hanya ada pada jaringan Al Qaeda, tetapi juga pada pemerintah Presiden Ali Abdullah Saleh yang harus lebih membuka keran demokrasi, menegakkan keadilan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.[wartakota]

No comments:

Post a Comment