Sejak lama, karakter-karakter kartun, seperti Dora the Explorer, Shrek, Spongebob Squarepants dan lainnya menjadi ikon untuk makanan-makanan cepat saji di restoran-restoran terkemuka. Dikabarkan oleh Health.com, anak-anak yang melihat makanan berbungkus karakter ini, rasa makanannya lebih enak ketimbang makanan yang datang dengan bungkus polos, padahal makanannya sama persis. Ketika diminta memilih, lebih banyak anak memilih makanan dalam kemasan bergambar ikon kartun anak-anak sebagai camilan.
Diterangkan oleh dr Thomas Robinson, M.D., profesor kesehatan anak di Stanford University School of Medicine, penggunaan karakter televisi dan film pada pembungkus makanan didesain untuk mengakses perasaan, memori, dan asosiasi dengan karakter kartun tersebut. "Jika Anda mengasosiasi produk tertentu yang menyenangkan dengan barang lain yang tak semenyenangkan, maka barang yang kurang menyenangkan tadi menjadi lebih diingini," terang dr Robinson.
Namun, sayangnya, para ahli kesehatan mengkhawatirkan, bahwa karakter-karakter kartun ini lebih sering muncul pada makanan cepat saji (junk food). Meski karakter-karakter tersebut sering pula digunakan pada produk buah-buahan dan sayuran, namun lebih sering digunakan pada makanan camilan yang kurang sehat.
"Para orangtua bisa saja menahan diri untuk tidak membeli makanan tak sehat, namun, anak-anak bisa menjadi sangat persuasif. Ketika mereka melihat karakter kartun tersebut, dan mengingininya, sulit untuk 'bertarung' melawan keinginan mereka di toko," terang Christina Roberto M.S., mahasiswa doktoral di Rudd Center for Food Policy and Obesity di Yale University, pimpinan studi ini.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics, Roberto dan koleganya meminta 40 anak usia 4-6 tahun yang diminta untuk memilih makanan yang berbungkus polos dibanding dengan makanan yang diberikan stiker karakter kartun, dan antara 50-55 persen anak-anak mengatakan, bahwa makanan yang berstiker lebih enak. Padahal, isi makanan di dalam bungkus berbeda itu sebenarnya adalah makanan yang sama.
Persentase anak yang memilih makanan berkemasan karakter kartun berada antara 73-85 persen. "Para pengusaha makanan mengetahui bahwa karakter kartun bisa membantu penjualan makanannya, karena itu mereka menggunakan karakter ini," ujar Marion Nestle, Ph.D., profesor nutrisi, studi makanan, dan kesehatan publik di New York University.
Hasil studi ini bisa dijadikan dasar untuk pembuatan aturan bagi para produsen makanan untuk menghentikan penggunaan karakter kartun untuk memasarkan makanan junk food pada anak-anak. "Anak kecil, khususnya yang di bawah usia 7-8 tahun belum memahami niat persuasif dari strategi pemasaran. Kelihatannya kurang adil, dan kita harus melindungi anak-anak," terang Robinson.
Menggunakan daya karakter kartun untuk memasarakan makanan sehat, bisa kurang efektif ketimbang mematok larangan untuk digunakan sebagai alat pemasaran, saran Roberto. Karakter kartun memiliki pengaruh yang kurang besar terhadap keinginan anak-anak ketika menjadi pembungkus wortel mini. "Bisa jadi karena kita tak terbiasa untuk melihat karakter kartun kesayangan berada di bungkus sayuran, atau karena anak-anak sudah menyadari bahwa wortel, ya wortel, sementara untuk makanan lain, seperti cracker atau permen yang dibungkus karakter kartun kesayangan mereka yang belum jelas rasanya seperti apa," tambahnya.
Diterangkan oleh dr Thomas Robinson, M.D., profesor kesehatan anak di Stanford University School of Medicine, penggunaan karakter televisi dan film pada pembungkus makanan didesain untuk mengakses perasaan, memori, dan asosiasi dengan karakter kartun tersebut. "Jika Anda mengasosiasi produk tertentu yang menyenangkan dengan barang lain yang tak semenyenangkan, maka barang yang kurang menyenangkan tadi menjadi lebih diingini," terang dr Robinson.
Namun, sayangnya, para ahli kesehatan mengkhawatirkan, bahwa karakter-karakter kartun ini lebih sering muncul pada makanan cepat saji (junk food). Meski karakter-karakter tersebut sering pula digunakan pada produk buah-buahan dan sayuran, namun lebih sering digunakan pada makanan camilan yang kurang sehat.
"Para orangtua bisa saja menahan diri untuk tidak membeli makanan tak sehat, namun, anak-anak bisa menjadi sangat persuasif. Ketika mereka melihat karakter kartun tersebut, dan mengingininya, sulit untuk 'bertarung' melawan keinginan mereka di toko," terang Christina Roberto M.S., mahasiswa doktoral di Rudd Center for Food Policy and Obesity di Yale University, pimpinan studi ini.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics, Roberto dan koleganya meminta 40 anak usia 4-6 tahun yang diminta untuk memilih makanan yang berbungkus polos dibanding dengan makanan yang diberikan stiker karakter kartun, dan antara 50-55 persen anak-anak mengatakan, bahwa makanan yang berstiker lebih enak. Padahal, isi makanan di dalam bungkus berbeda itu sebenarnya adalah makanan yang sama.
Persentase anak yang memilih makanan berkemasan karakter kartun berada antara 73-85 persen. "Para pengusaha makanan mengetahui bahwa karakter kartun bisa membantu penjualan makanannya, karena itu mereka menggunakan karakter ini," ujar Marion Nestle, Ph.D., profesor nutrisi, studi makanan, dan kesehatan publik di New York University.
Hasil studi ini bisa dijadikan dasar untuk pembuatan aturan bagi para produsen makanan untuk menghentikan penggunaan karakter kartun untuk memasarkan makanan junk food pada anak-anak. "Anak kecil, khususnya yang di bawah usia 7-8 tahun belum memahami niat persuasif dari strategi pemasaran. Kelihatannya kurang adil, dan kita harus melindungi anak-anak," terang Robinson.
Menggunakan daya karakter kartun untuk memasarakan makanan sehat, bisa kurang efektif ketimbang mematok larangan untuk digunakan sebagai alat pemasaran, saran Roberto. Karakter kartun memiliki pengaruh yang kurang besar terhadap keinginan anak-anak ketika menjadi pembungkus wortel mini. "Bisa jadi karena kita tak terbiasa untuk melihat karakter kartun kesayangan berada di bungkus sayuran, atau karena anak-anak sudah menyadari bahwa wortel, ya wortel, sementara untuk makanan lain, seperti cracker atau permen yang dibungkus karakter kartun kesayangan mereka yang belum jelas rasanya seperti apa," tambahnya.
Bagaimana cara Anda membujuk si kecil supaya tidak memilih makanan kurang sehat meski gambar pada kemasannya adalah karakter kartun kesayangannya?
[kompas]
No comments:
Post a Comment