Media massa pertama-tama dan terutama adalah ruang publik. Ruang pemberitaan harus secara konsisten digunakan untuk mendiskusikan hal-hal penting atau mendesak bagi kepentingan masyarakat, dengan bertumpu pada keutamaan ruang publik: pencerdasan, pemberdayaan, solidaritas, pengawasan sosial.
Garis demarkasi antara urusan publik dan urusan privat harus diperhatikan guna menghindari "kolonisasi" ruang publik media oleh hal-hal yang hanya relevan dibahas dalam ruang privat keluarga atau relasi antar-individu.
Namun, "kolonisasi" ruang publik oleh urusan privat itulah yang tampaknya terjadi dalam ekspos media terhadap kasus video mesum yang diduga melibatkan selebriti Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari.
Bahwa media massa memberitakan kasus ini, bukanlah suatu kesalahan. Persoalannya, proporsi pemberitaan yang berlebihan dengan orientasi pembahasan yang terus berkutat pada segi-segi intimitas individual telah menyebabkan ruang media tersandera oleh urusan-urusan privat yang tidak layak mendominasi ruang publik.
Mengabaikan kode etik
Dalam mengekspos kasus video kontroversial itu, terutama pada tahap awal, banyak media menayangkan foto, suara, atau rekaman audio-visual yang menonjolkan sisi "kecabulan" secara berulang-ulang. Beberapa media vulgar mengupas aspek-aspek sensualitas, tanpa mempertimbangkan kupasan itu dapat diakses khalayak segala umur.
Di sini terabaikan kode etik jurnalistik dan P3SPS, dua regulasi yang berusaha memastikan bahwa ruang media secara konsisten harus merujuk pada kelayakan dan keutamaan ruang publik.
Media penyiaran juga cenderung hanya sibuk mempersoalkan kebenaran tentang pelaku video mesum tersebut. Persoalan pelaku ini sebenarnya urusan privat yang tak layak di-blow-up di ruang publik. Kepentingan publik dalam kasus ini adalah bagaimana pelaku penyebarluasan video dapat segera diungkapkan dan diadili, serta bagaimana penyebarluasan video dapat segera ditanggulangi.
Namun, diskursus media tidak segera beranjak ke urusan publik ini dan masih terus berkutat dengan pertanyaan "siapa sebenarnya pelaku video cabul tersebut". Fungsi media jelas tidak sekadar memenuhi rasa ingin tahu masyarakat (vouyerism) terhadap segi-segi seksualitas. Fungsi media adalah memberikan peringatan kepada publik bertolak dari kasus video mesum serta menyajikan pelajaran penting dari sisi pengaruh penggunaan teknologi komunikasi, dampak televisi terhadap keluarga, plus-minus online media, dan seterusnya.
Garis demarkasi antara urusan publik dan urusan privat harus diperhatikan guna menghindari "kolonisasi" ruang publik media oleh hal-hal yang hanya relevan dibahas dalam ruang privat keluarga atau relasi antar-individu.
Namun, "kolonisasi" ruang publik oleh urusan privat itulah yang tampaknya terjadi dalam ekspos media terhadap kasus video mesum yang diduga melibatkan selebriti Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari.
Bahwa media massa memberitakan kasus ini, bukanlah suatu kesalahan. Persoalannya, proporsi pemberitaan yang berlebihan dengan orientasi pembahasan yang terus berkutat pada segi-segi intimitas individual telah menyebabkan ruang media tersandera oleh urusan-urusan privat yang tidak layak mendominasi ruang publik.
Mengabaikan kode etik
Dalam mengekspos kasus video kontroversial itu, terutama pada tahap awal, banyak media menayangkan foto, suara, atau rekaman audio-visual yang menonjolkan sisi "kecabulan" secara berulang-ulang. Beberapa media vulgar mengupas aspek-aspek sensualitas, tanpa mempertimbangkan kupasan itu dapat diakses khalayak segala umur.
Di sini terabaikan kode etik jurnalistik dan P3SPS, dua regulasi yang berusaha memastikan bahwa ruang media secara konsisten harus merujuk pada kelayakan dan keutamaan ruang publik.
Media penyiaran juga cenderung hanya sibuk mempersoalkan kebenaran tentang pelaku video mesum tersebut. Persoalan pelaku ini sebenarnya urusan privat yang tak layak di-blow-up di ruang publik. Kepentingan publik dalam kasus ini adalah bagaimana pelaku penyebarluasan video dapat segera diungkapkan dan diadili, serta bagaimana penyebarluasan video dapat segera ditanggulangi.
Namun, diskursus media tidak segera beranjak ke urusan publik ini dan masih terus berkutat dengan pertanyaan "siapa sebenarnya pelaku video cabul tersebut". Fungsi media jelas tidak sekadar memenuhi rasa ingin tahu masyarakat (vouyerism) terhadap segi-segi seksualitas. Fungsi media adalah memberikan peringatan kepada publik bertolak dari kasus video mesum serta menyajikan pelajaran penting dari sisi pengaruh penggunaan teknologi komunikasi, dampak televisi terhadap keluarga, plus-minus online media, dan seterusnya.
Apa sesungguhnya relevansi Menkominfo menyerukan agar Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari mengaku sebagai pelaku dalam video mesum itu? Apakah masalah pelaku video mesum adalah urusan Kemkominfo?
Ironisnya, yang tersandera oleh urusan privat dalam kasus ini bukan hanya media massa, melainkan juga representasi pemerintah. Apa sesungguhnya relevansi Menkominfo menyerukan agar Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari mengaku sebagai pelaku dalam video mesum itu? Apakah masalah pelaku video mesum adalah urusan Kemkominfo?
Seruan semacam itu hanya relevan muncul dari seorang ulama, bukan dari seorang pejabat publik yang membidangi ranah komunikasi dan informasi publik. Yang relevan dievaluasi Menkominfo adalah bagaimana ruang publik media mendiskusikan kasus ini.
Meminggirkan isu utama
Ekspose media terhadap kontroversi video mesum sedikit banyak meredupkan diskursus publik tentang isu-isu yang sesungguhnya lebih signifikan bagi kepentingan publik: skandal Century, kasus pajak Gayus, kasus Susno vs Polri, dan lain-lain. Ekspose media yang berlebihan dan menafikan prinsip keutamaan ruang publik dalam kasus itu juga dapat membenarkan pendapat beberapa pihak bahwa "kebebasan pers di Indonesia telah kebablasan" dan "dunia maya media memang memerlukan intervensi yang ketat dari pemerintah".
Kontroversi yang terjadi dapat menjadi alasan pembenar bagi pemerintah mengintroduksi lagi regulasi yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan informasi. Media massa seharusnya menghitung benar risiko mem- blow-up sebuah kontroversi yang ternyata justru berpotensi merugikan kepentingan mereka sendiri jangka panjang.
Yang tak kalah memprihatinkan, pudarnya empati sebagai dasar moralitas relasi sosial dalam masyarakat kita. Jika benar Ariel, Luna, dan Cut Tari pelaku video mesum, tindakan mereka secara moral sulit ditoleransi. Namun, seperti kita, mereka bukan "manusia tunggal". Mereka bagian dari sebuah keluarga.
Sekurangnya masih ada ruang dalam moralitas kita untuk berempati kepada anak, orangtua, atau keluarga mereka. Pernahkah kita berpikir betapa getir perasaan keluarga mereka terhadap kontroversi dan penghakiman yang terjadi? Dapatkah kita membayangkan bagaimana masa depan anak mereka yang tidak tahu apa-apa dan aib yang sama suatu ketika menghinggapi keluarga kita?
Lebih jauh lagi, media jelas harus berempati kepada khalayaknya. Haruskah tayangan yang banyak mengekspos segi sensualitas disajikan kepada masyarakat yang demikian majemuk dalam nilai, agama, dan kepercayaan?
Media juga harus berempati kepada para orangtua dan guru yang panik terhadap dampak video cabul itu dan ekspos media terhadap anak-anak dan siswa remaja mereka. Jika media adalah institusi bisnis murni, empati sosial ini barangkali kurang relevan. Namun, sekali lagi, media massa terutama adalah institusi sosial yang harus menempatkan khalayaknya sebagai publik, warga negara, bukan sebagai massa yang melulu menjadi obyek komodifikasi dan komersialisasi.
[*Agus Sudibyo, Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers]
Seruan semacam itu hanya relevan muncul dari seorang ulama, bukan dari seorang pejabat publik yang membidangi ranah komunikasi dan informasi publik. Yang relevan dievaluasi Menkominfo adalah bagaimana ruang publik media mendiskusikan kasus ini.
Meminggirkan isu utama
Ekspose media terhadap kontroversi video mesum sedikit banyak meredupkan diskursus publik tentang isu-isu yang sesungguhnya lebih signifikan bagi kepentingan publik: skandal Century, kasus pajak Gayus, kasus Susno vs Polri, dan lain-lain. Ekspose media yang berlebihan dan menafikan prinsip keutamaan ruang publik dalam kasus itu juga dapat membenarkan pendapat beberapa pihak bahwa "kebebasan pers di Indonesia telah kebablasan" dan "dunia maya media memang memerlukan intervensi yang ketat dari pemerintah".
Kontroversi yang terjadi dapat menjadi alasan pembenar bagi pemerintah mengintroduksi lagi regulasi yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan informasi. Media massa seharusnya menghitung benar risiko mem- blow-up sebuah kontroversi yang ternyata justru berpotensi merugikan kepentingan mereka sendiri jangka panjang.
Yang tak kalah memprihatinkan, pudarnya empati sebagai dasar moralitas relasi sosial dalam masyarakat kita. Jika benar Ariel, Luna, dan Cut Tari pelaku video mesum, tindakan mereka secara moral sulit ditoleransi. Namun, seperti kita, mereka bukan "manusia tunggal". Mereka bagian dari sebuah keluarga.
Sekurangnya masih ada ruang dalam moralitas kita untuk berempati kepada anak, orangtua, atau keluarga mereka. Pernahkah kita berpikir betapa getir perasaan keluarga mereka terhadap kontroversi dan penghakiman yang terjadi? Dapatkah kita membayangkan bagaimana masa depan anak mereka yang tidak tahu apa-apa dan aib yang sama suatu ketika menghinggapi keluarga kita?
Lebih jauh lagi, media jelas harus berempati kepada khalayaknya. Haruskah tayangan yang banyak mengekspos segi sensualitas disajikan kepada masyarakat yang demikian majemuk dalam nilai, agama, dan kepercayaan?
Media juga harus berempati kepada para orangtua dan guru yang panik terhadap dampak video cabul itu dan ekspos media terhadap anak-anak dan siswa remaja mereka. Jika media adalah institusi bisnis murni, empati sosial ini barangkali kurang relevan. Namun, sekali lagi, media massa terutama adalah institusi sosial yang harus menempatkan khalayaknya sebagai publik, warga negara, bukan sebagai massa yang melulu menjadi obyek komodifikasi dan komersialisasi.
[*Agus Sudibyo, Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers]
No comments:
Post a Comment